Cerpen, Aku dan Perempuan Malam Mu

banner 468x60

Oleh: Pinasti S Zuhri

 

BeriitakuOnline.com – Ada satu kesamaan yang membuat aku dan Rini tetap berjalan seiring, sama-sama terpuruk di satu sisi kehidupan yang sebenarnya tidak kami inginkan. Tetapi Kami tak malu untuk mengakui semua itu kami rela menerima berbagai julukan yang seringkali menusuk telinga kami.

Aku adalah laki-laki yang tak tahu kemana harus memanggil kata “ibu dan bapak” sedang Rini, adalah salah seorang dari puluhan bahksn ratusan wanita tuna susila yang setiap malamnya berdiri di tepi jalan menunggu hidung belang yang seolah perkasa padahal sama sekali tidak.

Kami mengontrak disebuah rumah bedengan yang jumlahnya sebanyak sepuluh pintu, lumayan mahal untuk kantong orang seperti kami, Rp 1.500.000 setahun, Belum lagi kami harus menanggung biaya listrik perbulan, air ledeng dan biaya makan sehari-hari. Satu kamar tidur, ruang tamu seadanya dapur dan wc yang hampir jadi satu.

Semua bedeng kontrakan tersebut dihuni oleh bromocorah, Zaini si penodong, Rendi si pencuri, Amir si pemalak, Benny si penjual togel, Heru sang peracik obat-obatan psikotropika dan aku sendiri, cukup bangga dengan titel pencopet. Walaupun begitu Lingkungan kami aman-aman saja walaupun tak ada kesepakatan tertulis bahwa sesama dilarang saling makan.

Aku bertemu Rini ketika melihatnya terkulai lesu di becak mang Anton, pukul tiga dini hari. Matanya menyipit, wajahnya sedikit pucat, menggigil dan ia menguap saat kudekati.
“Maaf, aku tidak sedang kerja malam ini,” katanya.
Aku tertawa sambil melirik tubuhnya yang hanya terbalut tank top, kujulurkan rokok yang ada di tangan kananku.
“Aku hanya ingin diantar mang Anton ke warung di ujung sana, perutku lapar,” kataku sambil menunjuk timur.
Rini pun beranjak dari becak dan berkata
“Oh tidak, aku tak ingin mengganggumu,” ucapnya datar.
” ikut saja kalau mau,” jawabku Tanpa menunggu jawabannya akupun langsung saja naik ke becak, Rini hanya memandangiku lalu menoleh lagi ke depan. Aku pun mengalihkan perhatianku ke parkiran motor di depan warung kopi, beberapa remaja sedang bercanda dan dingin tampaknya tersingkir oleh tawa mereka.

Esok malamnya kami bertemu lagi, kali ini Rini menyambutku dengan ramah dan menawarkan jasa untuk membalas traktiranku kemarin malam, aku nyengir lalu duduk di bawah siraman lampu jalan, sebuah sepeda motor berhenti di depan kami. Rini menggelengkan kepala, orang itu berlalu dan berhenti lagi tak jauh dari kami.
“Dulu, kami adalah keluarga yang berbahagia walau pas-pasaan, tapi ketika ayahku meninggal ibu kawin lagi, saat itu aku berumur 16 tahun. Rupanya, bapak tiriku itu orang yang tak kenal lelah, ia mengatakan keinginannya untuk menggarapku, tentunya dengan satu bekapan tangannya di mulutku. Seingatku tiga kali ia melakukan itu,” jelas Rini saat kami duduk di sebuah bangku taman di tepat di depan air yang menyembur ke atas dibagian tengah kolam.
“Aku tak ingin menambah beban batin ibuku, aku tak mengadukan kelakuan suaminya. Namun malam itu aku sudah tak tahan lagi Ren, aku muak. Aku menjerit, ibuku terbangun dan melihat suaminya sedang menindihku. Ibuku menghunus pisau dapur untuk membelaku, tapi pisau itu berbalik arah karena tangannya dikendalikan oleh suaminya. Malam itu terakhir kalinya aku melihat ibuku dalam keadaan hidup Suaminya dipenjara dan aku, seperti yang kau lihat sekarang ini. Lanjut Rini, ia tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu beruntung,” kataku, Rini melototkan matanya.
“Maksudku, kamu lebih beruntung dapat melihat rupa ibumu sedang aku, mungkin terlahir dari perut tong sampah,” jelasku, Rini mendepak kepalaku dan mengucek-ngucek rambutku. Kamipun tertawa lepas seolah tanpa beban malam itu.

Baca Juga  SANTET, A TRUE STORY: NAMAKU DINA

Beranjak subuh kuantar Rini pulang, kuselipkan selembar uang seratus ribu di tangannya yang kupinjam dari seorang mahasisiwi yang berdiri di depanku di bis kota tadi siang.
“Kamu beruang ya,” katanya sambil memasukkan uang itu ke saku celana jeansnya.
“Bukan beruang tapi harimau,” kataku.
“Masuklah dulu, jika kau tak mau kehangatanku, mungkin kehangatan secangkir kopi dapat kusuguhkan,” ujarnya sambil melirik nakal bagian bawah pinggangku.

“Kalau itu aku mau.” Jawabku. Aku masuk ke dalam rumah, tiga buah kardus duduk di kursi rotan. Aku menyingkirkannya.
“Dua hari lagi kontrakanku habis, rencananya besok aku mau pindah.” gumamnya sambil mengganti pakaiannya tanpa risih di depanku
“pindah kemana,” jawabku sambil menghisap rokok dalam dalam tanoa memperhatikan.
“Belum tahu, baru besok aku mau cari kontrakan lagi, di sini banyak kenangan tak enak, ” jelasnya berlalu ke dapur.
Dinding bercat putih itu sedikit redup oleh cahaya lampu yang seadanya, dua buah bingkai foto menempel di bawah jam dinding. Rini datang membawa secangkir kopi dan duduk di hadapanku. Aku masih menatap dua bingkai itu, dua wajah yang mirip dengan Rini.
Kedua orang tuaku, kata Rini.
Oh tanggapku seadanya.
***
Pagi itu aku bangun, kulihat sudah ada secangkir kopi dan sepiring nasi goreng di sampingku.
“Wah, kamu beli di mana nasi goreng ini,” tanyaku ketika melihat Rini duduk menonton televisi di sampingku.
“Enak saja beli, aku masak sendiri tahu, biar begini aku perempuan, perempuan itu harus bisa masak supaya di sayang sama sua…,” Rini tak melanjutkan ucapannya, seketika kulihat air mukanya berubah.
“Aku menyusahkan kamu. Tuan rumah tidur di tikar, eh aku enak-enakkan tidur di kamar, besok biar aku yang tidur di sini.” Kata Rini sambil melipat sehelai tikar yang menutupi lantai semen bedeng yang sudah bolong-bolong.
Nanti kamu masuk angin, kataku, Rini tertawa.
“Entah kau memang lugu atau pura-pura lugu Ren, kata Rini .
Seperti biasa, setelah mandi aku berangkat kerja, pagi-pagi begini lapangan Pekerjaan untukku ramai berdesak-desakkan di bis kota. Untuk mendapat keahlian seperti ini aku tak perlu sekolah cukup sering-sering praktek lapangan, dikeroyok massa, di tangkap polisi, lama kelamaan kapalan juga.
Sebelum pergi kutatap wajah Rini. Seketika aku merasa bersalah menjadi seorang laki-laki.
***
Menjelang malam aku pulang kerja, ku lihat Rini berdiri di teras sambil menggendong anak Zaini yang baru berumur dua tahun. Rini mencium bayi itu dan mendorong mukaku ketika aku juga ingin mencium bayi itu.
Mamang tak boleh cium, mukanya bau rokok, kata Rini sambil memainkan jemari bayi itu. Aku menggaruk-garuk kepala.
Rini berjalan ke dalam rumah mengikutiku. Di dapur, dengan satu tangan ia membuka tudung saji. Tempe, sayur asem dan serantang nasi sudah tersedia. Rumahku pun terlihat rapi, tidak seperti sebelumnya, berbau tak sedap, lembab dan bertaburn puntung rokok.
Makanlah dulu, mandi kemudian istirahat, kata Rini lalu ia berjalan lagi ke depan.
Aku mau ngantor dulu, katanya padaku, kakinya melangkah menuju pintu, cepat-cepat kupengang lengannya.
Tidak Rin, jangan lagi, aku mohon. Kau bersamaku, tulangku masih kuat mencari makan untuk kita,
Tapi
Kumohon Rin, kita tak boleh menangisi hidup kan?” ucapku lembut.
Kami duduk di teras menatap deretan rumah-rumah kecil yang berdesakkan selintas kadang bau sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai kecil di samping bedengku mampir ke hidung kami, biasanya air akan naik satu meter bila hujan turun seharian. Wak Jajang lewat sambil menuntun sepeda jengki, kendaraan tua untuknya ngiderke pempek. Ia menyapa kami sambil senyum-senyum, kata wak Jajang aku laki-laki beruntung, ada perempuan cantik yang menyukai aku.
Rini masih diam dan menunduk, rambut sebahunya tergerai menutupi sebagian wajahnya. Sedang aku, sibuk melihat anak-anak kecil bertelanjang dada yang berlari-larian di atas jembatan kayu.
“Maaf, aku sudah berani melarang-larang kamu, kataku, Rini masih diam.
Hidup ini serba tiba-tiba ya Ren? kemarin aku adalah anak kecil yang dikasihi dan setiap hari dibelai oleh kedua orang tuanya. Esoknya aku adalah wanita yang menjajakan tubuhnya dipinggir jalan hari ini, aku sudah tinggal satu rumah dengan laki-laki yang baru aku kenal satu minggu.
“Siapapun dia, pasti punya sisi buruk mungkin, kemampuan menutupi keburukan yang membedakan kita dengan mereka. Seperti sebuah kalimat yang sering kita dengar srigala berbulu domba.
Rini menarik nafas panjang. Entah, aku tak tahu kemana arah obrolan kami. Mungkin kami sedang menyalahkan nasip mungkin juga kami sedang melepaskan beban atau kami mencoba mencari sesuatu yang baik untuk menghibur diri. Semua yang membuat susah kami hadapi, sepertinya kami diajarkan alam untuk menjadi manusia super yang harus bertahan dengan kaki sendiri, tak boleh mengharapkan bantuan orang lain, kami diajarkan waktu untuk tak mempercayai siapa-siapa. Kami tak berhak bergantung pada orang-orang yang katanya memperhatikan nasip kami. Melarat atau tidaknya orang-orang seperti kami tak akan membawa pengaruh apapun, hari ini adalah hari ini dan mungkin esok adalah hari ini.
Hari kemarin bukan sekedar kepingan memoar, tak ada gading yang tak retak, banyak sudah kisah yang tertinggal tapi tak kunjung lepas menggantung di pundak kami. Kami hanya tak ingin terus-terusan berkeluh kesah seperti bik Tiar yang selalu mengocehkan mahalnya beras dan Zaini yang selalu menyebut-nyebut pemerintah bila air masuk ke dalam bedeng kami. Seperti mang Anton yang selalu menggayung pedal becaknya nasip kami berputar, terus berputar hingga waktu yang sama sekali tak tahu kapan akhirnya, apakah mati ditelan bencana, mati sakit atau mati mendadak. Semua tak dapat diramal. Malam ini bersama Rini aku seperti mendengar suara, mungkin suara malaikat.
Rini masuk ke dalam dan menemuiku lagi membawa satu bungkusan. Aku membukanya. Selembar sajadah, ah Rini kamu ternyata tak melupakan Tuhan dan memang kita harus mengembalikan diri kita pada-Nya dan sekaranglah waktunya, bukan esok, bukan lusa, bukan minggu depan, bukan tahun depan tapi sekarang, ya sekarang.
***
“Ya Allah kami adalah orang-orang yang penuh dosa, mungkin tak ada lagi tangan manusia di dunia ini yang mau menyambut kami, namun ya Allah, kami yakin Engkau tetap menyayangi kami, izinkan kami kembali ke jalanmu.
Tak terasa air mataku menetes, sudah bertahun tak pernah kurasakan ketenangan seperti ini, tubuhku bagai di siram air pegunungan, udara di sekitarku terasa wangi.
Kulihat Rini, ia menangis tersedu-sedu di belakangku. Kami menangis bersama seperti anak kecil yang ditinggal ibunya pergi ke pasar. Tapi kami memang anak kecil, siapa yang besar di dunia ini.
***
Sejurus kenudian Aku ingat kembali kata-kata Rini sebelum dirinya kutelanjangi dengan mataku, bahwa hidup ini tiba-tiba. Ya sekarang aku sudah mempunyai seorang bayi buah pernikahanku dengan Rini. Aku berhenti dari pekerjaanku sebagai tukang copet, aku menyayangi anak dan istriku. Kini aku tak hidup sendiri lagi
Terimaksih Tuhan, atas semua karunia yang telah kau beri ini. Batinku bersyukur kepada sang pemberi kehidupan walau aku tak pernah tau bagaimana cara menyampaikan pada-NYA.

Baca Juga  Pemkab Pali Kaji Banding Sinergisitas Media ke Diskominfo OKI

(Sekanak 27 ilir palembang, Februari 2007)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60